KASUS wanprestasi yang melibatkan Syahrini dengan
salah satu klub di Bali, Blue Eyes, masih terus bergulir.
Hampir satu tahun berjalan, kasus tersebut akan segera
mencapai babak akhir. Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum Blue Eyes, Soni
Wijaya.
"Rabu besok (7/11) agendanya kesimpulan. Satu
atau dua minggu lagi hakim akan membacakan putusannya," jelas Soni, saat
dihubungi tabloidbintang.com, Selasa (6/11).
Kasus wanprestasi Syahrini bermula pada Januari 2011
silam. Ketika itu Syahrini secara mendadak menggagalkan penampilannya di acara
ulang tahun Blue Eyes dengan alasan ayahnya meninggal dunia.
Syahrini beranggapan, peristiwa tersebut termasuk
dalam Force Majeur sehingga tidak perlu membayar ganti rugi kepada Blue Eyes.
Hal ini membuat pihak Blue Eyes tidak terima dan mendaftarkan gugatan perdata
ke Pengadilan Negei Bogor pada 5 Januari 2012.
Isi gugatannya, Blue Eyes menuntut Syarini membayar
ganti rugi sebesar Rp 2.212.321.800. Dengan rincian, Rp 212.321.800 untuk
kerugian materiil, dan 2 miliar rupiah kerugian immateriil.
Nama : Elfira Khusma Fairuz
Nim : 3223113031
Kelas : PS 5A
Menurut
pendapat saya kasus Syahrini diatas merupakan salah satu contoh kasus Force
Majeur, karena Syahrini tidak mendatangi
atau tidak melaksanakan kewajibannya yaitu manggung di salah satu club di Bali
sesuai dengan kontrak perjanjian yang telah disepakati, dia tidak bisa menepati
kontrak perjanjiannya karena suatu hal yang tak terduga, yaitu karena ayahnya
sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
Seperti yang saya pahami dimana
force majeur itu merupakan keadaan kahar, keadaan memaksa , situasi atau peristiwa yang
terjadi di luar batas kemampuan dan dugaan manusia.
Force majeur atau yang sering diterjemahkan sebagai
“keadaan memaksa” merupakan keadaan di mana seorang debitor terhalang untuk
melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada
saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan
beritikad buruk.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :
” Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan
force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab,
jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut
maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para pihak”.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang
merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic
asumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.
Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat
digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure selain pasal 1244 yang sudah
tersebut di atas, antara lain adalah :
Pasal 1245 :
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak
disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”.
Pasal 1545 :
“Jika suatu barang tertentu, yang
telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka
persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam
tukar-menukar”.
Pasal 1553 :
“Jika selama waktu sewa, barang yang
disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka
persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Akibat Hukum
Ada tiga akibat hukum keadaan yang memaksa, yaitu
:
Debitor tidak perlu membayar ganti rugi. ( Pasal
1244 KUH Perdata )
Beban Resiko tidak berubah, terutama pada keadaan
memaksa sementara.
Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi,
tetapi sekaligus demi hokum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kantra
prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus