Selasa, 08 Oktober 2013

Kasus Syahrini

KASUS wanprestasi yang melibatkan Syahrini dengan salah satu klub di Bali, Blue Eyes, masih terus bergulir.
Hampir satu tahun berjalan, kasus tersebut akan segera mencapai babak akhir. Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum Blue Eyes, Soni Wijaya.
"Rabu besok (7/11) agendanya kesimpulan. Satu atau dua minggu lagi hakim akan membacakan putusannya," jelas Soni, saat dihubungi tabloidbintang.com, Selasa (6/11).
Kasus wanprestasi Syahrini bermula pada Januari 2011 silam. Ketika itu Syahrini secara mendadak menggagalkan penampilannya di acara ulang tahun Blue Eyes dengan alasan ayahnya meninggal dunia.
Syahrini beranggapan, peristiwa tersebut termasuk dalam Force Majeur sehingga tidak perlu membayar ganti rugi kepada Blue Eyes. Hal ini membuat pihak Blue Eyes tidak terima dan mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negei Bogor pada 5 Januari 2012.
Isi gugatannya, Blue Eyes menuntut Syarini membayar ganti rugi sebesar Rp 2.212.321.800. Dengan rincian, Rp 212.321.800 untuk kerugian materiil, dan 2 miliar rupiah kerugian immateriil.












Nama   :           Elfira Khusma Fairuz
Nim     :           3223113031
Kelas   :           PS 5A


            Menurut pendapat saya kasus Syahrini diatas merupakan salah satu contoh kasus Force Majeur,  karena Syahrini tidak mendatangi atau tidak melaksanakan kewajibannya yaitu manggung di salah satu club di Bali sesuai dengan kontrak perjanjian yang telah disepakati, dia tidak bisa menepati kontrak perjanjiannya karena suatu hal yang tak terduga, yaitu karena ayahnya sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.
            Seperti yang saya pahami dimana force majeur itu merupakan keadaan kahar, keadaan memaksa , situasi atau peristiwa yang terjadi di luar batas kemampuan dan dugaan manusia.
Force majeur  atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan di mana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :
” Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di antara para pihak”.
Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat.
Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure selain pasal 1244 yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah :


Pasal 1245 :
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Pasal 1545 :
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”.
Pasal 1553 :
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Akibat Hukum
Ada tiga akibat hukum keadaan yang memaksa, yaitu :
Debitor tidak perlu membayar ganti rugi. ( Pasal 1244 KUH Perdata )
Beban Resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.
Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hokum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kantra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.



1 komentar: