“ ISTISHNA’ ”
Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Kuliah
“Desain
Kontrak”
JURUSAN SYARIAH
PRODI
PERBANKAN SYARIAH
KELAS
: 5-A
Disusun Oleh Kelompok
I :
1. Azzifathur Roifah 3223113021
2. Denny Ardianto 3223113025
3. Desi Laela Sari 3223113026
4. Dian Sri Rahayu 3223113028
5. Elfira Khusma Fairuz 3223113031
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
OKTOBER 2013
(STAIN) TULUNGAGUNG
OKTOBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akad istishna’
merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat
dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan
keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau
pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak
intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya,
ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan
syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh
nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan
terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi
telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu
pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk
mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian istishna’
2.
Apa saja dasar hukum
istisna
3.
Hak dan kewajiban para
pihak istishna’
4.
Ilustrasi dialog
5.
Isi kontrak istishna’
C. TUJUAN
1.
Mengetahui pengertian istishna’
2.
Mengetahui dasar hukum
istishna’
3.
Mengetahui hak dan
kewajiban para pihak istishna’
4.
Mengerti bagaimana
dialog beristishna’
5.
Mengetahui isi kontrak
istishna’
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar
dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain
untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1][1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab
Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل).
Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang
punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan
harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah
terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2][2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab
Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على
وجه غير السلم).
Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan
jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3][3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga
terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من
الصناعات),
yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
[4][4]
Jadi secara sederhana, istishna' boleh disebut
sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang
produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang
disepakati antara keduanya.
RUKUN DAN SYARAT AKAD ISTISHNA’
Berikut ini adalah rukun dan syarat-syarat akad
istishna’ :
1.
Transaktor
Transaktor adalah pihak pemesan yang diistilahkan
dengan mustashni' (المستصنع)
sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan
shani' (الصانع).
Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi
berupa akil baligh dan memiliki kemampuan untuk memilih yang optimal seperti
tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain-lain yang sejenis. Adapun dengan
transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari
walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan penjual agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah
disepakati. Penjual dibolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan dan ia tidak boleh menunutut tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna’ dan melaksanakan
semua ketentuan dalam kesepakatan istishna’. Akan tetapi, sekiranya ada barang
yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.
2.
Objek Istishna’
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal
(المحل)
adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad
ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian
menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[5][10]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya
bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua
untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang
disepakati adalah jasa bukan barang.[6][11]
Syarat-syarat
objek akad menurut Fatwa DSN MUI, yaitu :
a. Harus dapat
dijelaskan spesifikasinya.
b.
Penyerahannya dilakukan kemudian.
c.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan
d.
Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang
sebelum menerimanya.
e.
Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang
sejenis sesuai kesepakatan
f.
Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati
g.
Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi
pemesan, bukan barang missal.
3.
Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah
lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan
sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak
yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan,
isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan, bergantung pada
praktik yang lazim di masyarakat dan menunjukan keridhaan satu pihak untuk
menjual barang istishna’ dan pihak lain untuk membeli barang istishna’.
Istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi[7][12] :
a.
Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya
b.
Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang
dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Berakhirnya akad
istishna
Kontrak istishna bias
berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
1. Dipenuhinya kewajiban
secara normal oleh kedua belah piahk,
2. Persetujuan bersama
kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
3.
Pembatalan hokum kontrak ini jika muncul sebab yang
masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan
masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.
B. DASAR HUKUM ISTISHNA’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan
secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan
muslimin.
Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama'
menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
As-Sunnah
عَنْأَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص
كَانَأَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ
لاَيَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا
مِنْفِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat
kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab
tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan
agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim)
Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala
tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarangnya. [9][6]
Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab
fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal
selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada
dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai
dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan
demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk
memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka
masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan
semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu
kelangsungan hidup masyarakat.[10][7]
HAKEKAT AKAD ISTISHNA’
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat
akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang
disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad
salam dan jual-beli jasa (ijarah). [11][8] Sebagian lainnya
menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad
istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak
kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah
menjadi akad jual beli.[12][9]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta
akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya
melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya
membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya
terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
C. HAK dan KEWAJIBAN PIHAK ISTISHNA’
1.
Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL
wajib dan dengan ini menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua
dalam hal ini PEMBELI atas segala kerugian apabila terdapat cacat pada barang
pesanan sebagai kelalaian pihak pertama.
2.
Pihak kedua dalam hal ini PEMBELI
wajib dan menyetujui untuk melakukan pembayaran cicilan kepada pihak pertama
dalam hal ini PENJUAL untuk membayar cicilan tepat waktu dan besaran cicilan,
misalnya sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua bulan.
3. Pihak Pembeli mempunyai
hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:
1. Jumlah yang telah di bayarkan dan
2. Penyerahan barang
pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepatwaktu.
D. Dialog BERISTISHNA’
Dialog beristishna’ sama halnya
seperti akad istishna’, akad istishna adalah akad jual beli dimana seorang
pembeli memesan suatu barang kepada prosuden yang juga
bertindak sebagai penjual,
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang di sepakati, dan harga barang tidak dapat berubah selama jangka waktu
akad dengan cara pembayarannya dapet berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau
dapat ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
Begitu
akad disepakati, maka akan mengikat para pihak yang bersepakat dan pada dasarnya tidak
dapat dibatalkan, kecuali memenuhi
kondisi:
1.
Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, atau
2.
Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
E. ISI KONTRAK
ISTISHNA’
CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA – MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO)
Yang
bertanda tangan di bawah ini:
1.
Nama : Cristiano Ronaldo
Umur
: 23 th
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Jalan Ahmad Yani Barat
Nomer
KTP / SIM : 3504016207930009
Telepon
: 082 345 678 001
Dalam
hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK
PERTAMA
2.
Nama : Cinta Laura
Umur
: 21 th
Pekerjaan
: Penyanyi
Alamat
: Jalan Panglima Sudirman
Nomer
KTP / SIM : 3754016207930049
Telepon : 087 745 678 021
Dalam
hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut +
PIHAK
PERTAMA telah setuju untuk
menyewakan kepada PIHAK KEDUA tanah berikut bangunan berupa rumah toko
(ruko) berlantai [( 2 ) ( dua )] yang berdiri di atasnya yang terletak di ( Jalan
Kh.Wakhid Hasyim ) dengan luas tanah [( 600 ) ( enam ratus)] meter persegi
dengan sertifikat hak milik Nomer ( 2.341.678.0045 ), gambar situasi Nomer ( 456.987
) tanggal ( 22 oktober 2013 ).
Selanjutnya
kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis
dalam 15 (lima belas) pasal, sebagai berikut:
Pasal
Satu
Perjanjian antar kedua belah pihak ini
berlaku sah untuk jangka waktu [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf ---
)] tahun, terhitung sejak tanggal ------ tanggal, bulan, dan tahun ------
) sampai dengan ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) dimana PIHAK
PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk menentukan harga kontrak atas
ruko berikut tanah pekarangannya tersebut di atas dengan nilai harga [(Rp.
------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] untuk
jangka waktu [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] tahun.
Pasal Dua
PIHAK KEDUA telah memberikan uang muka atau DP (Down
Payment) sebagai tanda jadi sewa sebesar [(------ ) % ( --- jumlah dalam
huruf ---)] persen atau sejumlah [(Rp. ------------,00) (------
jumlah uang dalam huruf ------ )] pada hari ( ------------ ) tanggal (
--- tanggal, bulan, dan tahun --- ) dan sisa pembayaran sejumlah [(Rp.
------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] akan
dibayarkan pada waktu penandatanganan Surat Perjanjian ini.
Pasal Tiga
1. PIHAK PERTAMA
selaku pemilik sah bangunan ruko berikut pekarangannya di ( --- alamat
lengkap ruko --- ) menjamin bahwa tanah dan bangunan ruko berikut semua
fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah hak milik sahnya dan bebas dari
semua tuntutan hukum dan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK
KEDUA atas pemakaiannya dalam jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini.
2. Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian
PIHAK PERTAMA dalam memenuhi kewajibannya tersebut sepenuhnya menjadi
tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
Pasal Empat
Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang
tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini berakhir, PIHAK PERTAMA tidak
dibenarkan meminta PIHAK KEDUA untuk mengakhiri jangka waktu kontrak dan
menyerahkan kembali rumah tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal
Lima
Selama jangka waktu berlakunya Surat
Perjanjian ini, PIHAK KEDUA sama sekali tidak dibenarkan untuk
mengalihkan hak atau mengontrakkan kembali kepada PIHAK KETIGA dengan
dalih atau alasan apa pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK
PERTAMA.
Pasal Enam
1. PIHAK PERTAMA bertanggung jawab
seluruhnya akibat dari kerusakan maupun kerugian yang disebabkan oleh kesalahan
struktur dari bangunan ruko tersebut.
Yang dimaksudkan dengan struktur adalah
sistim konstruksi bangunan yang menunjang berdirinya bangunan, seperti:
pondasi, balok, kolom, lantai, dan dinding.
2. PIHAK KEDUA tidak
diperbolehkan mengubah struktur dan instalasi dari unit ruko tersebut tanpa
ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3. PIHAK KEDUA bertanggung
jawab atas kerusakan struktur sebagai akibat pemakaian.
4. PIHAK KEDUA tidak bertanggung
jawab atau dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK
PERTAMA yang terjadi akibat kerusakan pada bangunan ruko yang diakibatkan
oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah
hal-hal yang disebabkan oleh faktor extern yang tidak dapat diatasi maupun
dihindari, seperti: banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan,
kebakaran, huru-hara, kerusuhan, pemberontakan, dan perang.
Pasal Tujuh
Dalam perjanjian sewa-menyewa ini sudah
termasuk hak bagi PIHAK KEDUA untuk menggunakan semua fasilitas yang
telah terpasang sebelumnya pada bangunan ruko yang disewa.
Fasilitas-fasilitas tersebut adalah:
1. Listrik,
2. Saluran
nomor telepon,
3.
Saluran air dari PDAM.
Selama jangka waktu kontrak berlangsung, PIHAK
KEDUA berkewajiban untuk membayar semua tagihan-tagihan atau
rekening-rekening serta biaya-biaya lainnya atas penggunaan semua fasilitas
tersebut. Segala kerugian yang timbul akibat kelalaian
PIHAK
KEDUA dalam memenuhi
kewajibannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.
Pasal Delapan
PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas berlakunya
peraturan-peraturan Pemerintah yang menyangkut perihal pelaksanaan perjanjian
ini, misalnya: Pajak-pajak, Iuran Retribusi Daerah (IREDA), dan lain-lainnya.
Pasal Sembilan
PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga keamanan,
ketertiban dan ketenteraman lingkungan.
Pasal Sepuluh
Setelah berakhir jangka waktu kontrak
sesuai dengan pasal satu Surat Perjanjian ini, PIHAK KEDUA diharuskan
segera mengosongkan rumah dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK PERTAMA serta
telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal tujuh dan delapan dari Surat
Perjanjian ini.
Pasal Sebelas
Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA bermaksud melanjutkan perjanjian kontrak, maka masing-masing pihak
harus memberitahukan terlebih dahulu minimal [( ------ ) ( --- jumlah dalam
huruf --- )] bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
Pasal Dua Belas
PIHAK KEDUA mendapat prioritas pertama dari PIHAK
PERTAMA untuk memperpanjang masa penyewaan berikutnya sebelum PIHAK PERTAMA
menawarkan kepada calon-calon penyewa lainnya.
Pasal Tiga Belas
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk
menempuh jalan musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau
perselisihan yang mungkin timbul sehubungan dengan Surat Perjanjian ini.
Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan penyelesaian
yang melegakan kedua belah
pihak,
kedua belah pihak bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili
pada ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ).
Pasal Empat Belas
Surat Perjanjian ini dibuat oleh kedua
belah pihak dengan dasar akal sehat dan pikiran sehat tanpa adanya paksaan
maupun tekanan dari pihak-pihak manapun.
Pasal Lima Belas
Surat Perjanjian ini ditandatangani di (
--- tempat --- ) pada hari ( --------------- ) ( --- tanggal, bulan,
dan tahun ---- ) dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal (
--- tanggal, bulan, dan tahun ---- ).
( --- tempat, tanggal, bulan, dan tahun
---)
PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA
[ ------------------------- ] [
------------------------ ]
SAKSI-SAKSI:
[
--------------------------- ] [ --------------------------- ]
DAFTAR PUSTAKA
·
Yaya, Rizal dan Ahim
Abrurahman. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer.
Jakarta: Salemba Empat.
·
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri
Fiqh Islam Kitab Muamalat. Kampus Syariah